Refleksi 20 Tahun Reformasi : Dewan Pers dan Yayasan Pengelola Gedung Dewan Pers Ibarat Perampok dan Pembunuh
Merapinews.com – 20 tahun sejak berjalannya era
Reformasi, kebebasan pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya seperti
yang diamanatkan dalam UU pers nomor 40 tahun 1999, telah dikangkangi
oleh dewan pers.
Dewan pers yang merupakan representasi para jurnalis dalam menjaga,
mengawal dan melindungi aktivitas para jurnalis telah berubah dan
melenceng dari cita-cita reformasi. Bahkan Dewan Pers dituding berubah
menjadi sarang perampok dan pembunuh.
Kepecayaan dan harapan yang diserahkan para jurnalis kepada dewan
pers sebagai wakil insan pers dengan masyarakat dan pemerintah dalam
menjembatani permasalah pers akhirnya mencapai titik nadir.
Kehilangan kepercayaan kepada dewan pers akhirnya mencapai puncaknya.
Dimana pada hari ini Selasa, 4 Juli 2018 Ratusan Wartawan melakukan
aksi demo ke gedung dewan pers. Para jurnalis menuntut Anggota Dewan
Pers dibubarkan. Selain itu anggota dewan pers juga dituding telah
melakukan korupsi. Dewan pers dituding tempat bercokolnya para
oportunisme. Bahkan Dewan Pers dan Yayasan Pengelola Gedung Dewan Pers
ibarat perampok yang bernaung di balik baju pers.
Dewan Pers bisa juga dicap sebagai pembunuh kaum jurnalis reformis.
Perlu diketahui, bahwa gedung dewan pers tempat bercokolnya para
anggota Dewan Pers adalah gedung yang dibangun atas sumbangan asosiasi
importir film mandarin. Gedung tersebut diserahkan oleh ketuanya
Sudwikatmono dan diterima oleh Ali Moertopo menteri penerangan pada saat
itu. Serah terima gedung terjadi pada tanggal 1 Maret tahun 1982.
Diresmikan penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada tgl 1 Maret 1982.
Gedung tersebut diberikan untuk menunjang kegiatan pers Indonesia.
Seiring bergulirnya Reformasi tahun 1998, telah merubah peran dewan
pers yang pada saat itu sebagai corong pemerintah, menjadi Independen.
Setelah Dewan Pers Independen di sahkan pada tahun 2000, dalam
perjalanan selanjutnya telah terjadi Korupsi, dan Rekayasa oleh oknum
dewan pers. Korupsinya dengan cara menyalah gunakan jabatan untuk
mendapatkan dana dari pemerintah. Dewan Pers melakukan merekayasa dengan
cara memanfaatkan organisasi wartawan guna mendukung kegiatan Dewan
Pers. Setelah mendapatkan dana maka organisasi yang telah
mendukungnyapun dianggap tidak ada. Hanya beberapa saja yang diakui
keberadaannya. Itupun adalah kroni-kroninya yang identik dengan penguasa
orba. Itulah kaum oportunisme.
Gedung Dewan Pers saat ini dikelola oleh sebuah Yayasan, dimana
pengurus yayasan tersebut merupakan oknum-oknum perampok yang telah
mengangkangi dan mengebiri pers Indonesia. Bahkan saat ini terjadi
dualisme dalam hal pengelolaan gedung, Yakni Dewan Pers dan Yayasan
Pengelola Gedung mereka saling berebut gedung tersebut. Bisa dicap lupa
diri dan serakah.
Ketua yayasannya adalah Margiono (ketua PWI), Margiono adalah mantan
anggota dewan pers tahun 2013-2016, tahun 2017 lalu baru saja terpilih /
dipilih menjadi ketua yayasan pengelola gedung dewan pers (kapan
dilaksanakan pemilihan juga tidak diketahui). Namun faktanya kini ia
menjadi ketua yayasannya.
Yang patut dipertanyakan, alias ketidak jelasan yayasan adalah tidak
transparannya yayasan dalam mengelola keuangan gedung dewan pers,
mengingat Dewan pers mendapatkan dana Miliaran Rupiah setiap tahunnya
dari Pemerintah.
Karyawan Yayasan juga telah dialihkan menjadi Karyawan Dewan Pers dan digaji oleh Dewan Pers.
Sebagai penghuni di gedung dewan pers, Komite Wartawan Reformasi
Indonesia (KWRI) sudah 20 tahun berkantor di Dewan Pers, Sejak tahun
1998.
Selama menghuni gedung dewan pers tidak pernah kami mendengar atau
membaca pengumuman tentang rapat tahunan yayasan. Kami menduga ada
sesuatu yang disengaja disembunyikan pihak yayasan.
Pengurus Yayasan tidak transparan begitu juga Dewan Pers. Mereka
adalah gerombolan perampok yang bernaung di balik baju pers dan
perusahaan pers.
Bahkan kelompok dewan pers dan oknum yayasan yang identik dengan kaum
Orde baru telah memanfaatkan organisasi pers sebanyak 27 organisasi
yang memiliki legitimasi membentuk dewan pers independen yang pertama
yakni pada tahun 2000 dengan terbentuknya Dewan Pers Independen pertama.
Namun apa yang terjadi? Lacur, ternyata Anggota Dewan Pers periode
awal hingga anggota Dewan Pers sekarang yang identik dengan perampok,
penipu dan pendusta telah berkolaborasi dengan para pemilik media
raksasa mulai merancang strategi busuk menguasai dunia pers.
Strategi mereka adalah dengan cara membunuh perusahaan kecil tempat
bernaungnya media rakyat kecil utamanya media dan jurnalis yang vokal,
supaya tidak ada saingannya.
Kebijakan dewan pers yang mengharuskan Perusahaan Pers harus
berbentuk Perseroan Terbatas (PT) telah melanggar UU no 40 tahun 1999
tentang pers, KHUSUSNYA BAB IV Pasal 9 ayat (2) setiap perusahaan pers
harus berbentuk badan hukum Indonesia. Yang artinya Dewan Pers tidak
mengakui perusahaan pers yang berbadan hukum CV, Koperasi dan Yayasan.
Ini sebuah ancaman bagi keberlangsungan kebebasan pers yang independen,
Dewan Pers termasuk sudah melanggar Undang-undang.
Dewan Pers juga sudah dikuasai oleh kaum kapitalis, yang ingin
menguasai media di Indonesia dengan cara membunuh kreasi dan aktifitas
jurnalis reformasi yang bernaung dibawah perusahaan CV, Koperasi dan
Yayasan.
Perlu diperjelas, bahwa wartawan yang bernaung di media kaum
kapitalis, hak mereka hanya sebatas mendapatkan upah sebesar hasil
kerja/ kontrak saja. Sementara untuk kepemilikan saham pada perusahaan
milik kapitalis tersebut tidak dimungkinkan. Jadi mereka hanya dijadikan
budak dan alat pemuas nafsu kaum kapitalis.
Beda dengan media Jurnalis yang bernaung di koperasi, mereka adalah
sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa. Contohnya SKU Demokratis surat
kabar yang diterbitkan oleh Koperasi wartawan Reformasi Indonesia
(KOWARI) terbit sejak tahun 1998 sampai hari ini. Berkantor di lantai 3,
gedung dewan pers.
Meski Dewan Pers tidak lagi mengakui Perusahaan pers yang berbadan
hukum Koperasi, namun kami selaku pengurus KOWARI tidak pernah
menggubrisnya. Kami berprinsip Anjing Menggonggong kafilah berlalu. ini
sudah berlangsung 20 tahun bro.
Dikarenakan beberapa kejadian yang menimpa rekan jurnalis, berupa
kriminalisasi yang telah menimpa beberapa rekan jurnalis di tanah air
hingga akhirnya mati. Akhirnya kami sepakat untuk membubarkan dewan
pers. Demi tegaknya kebebasan pers dalam menjalankan fungsinya berbakti
kepada masyarakat menuju Independence Journalist yang menganut teori
Social Responsibility (tanggung jawab sosial) di abad milenium.
Sementara itu mantan anggota Dewan Pers periode 2006-2009 dari unsur
Perusahaan Pers, Sabam Leo Batubara adalah salah seorang oportunisme,
salah seorang yang juga harus diusir dari gedung dewan pers.
Akibat rekomendasinya, menyebabkan seorang wartawan (alm) Muh Yusuf
harus mendekam dipenjara dan akhirnya tewas dipenjara dan meninggalkan
duka bagi insan pers, khususnya kepada anak istri yang ditinggalkannya.
Melihat kondisi tersebut, ditambah dengan sikap Dewan Pers yang
selalu memandang sebelah mata atas keberadaan organisasi pers termasuk
insan pers itu sendiri, maka harus segera dilakukan tindakan progresif
revolusioner dengan cara mengusir para oportunisme yakni Anggota Dewan
Pers dan Yayasan Pengelola Gedung dari gedung dewan pers. Karena mereka
adalah para the Geng of Kroni.
Pada tahun 2004, penulis pernah melakukan aksi demo menolak
keberadaan Dewan Pers. Organisasi KWRI menunjuk sebagai koordinator
demo.
Saat itu juga kami menyatakan tidak mengakui keberadaan Dewan Pers. Sikap itu sampai saat ini belum kami cabut.
Dengan alasan bahwa anggota dewan pers adalah para pecundang. Mereka
melakukan pemilihan anggota dewan pers yang tidak transparan, terbuka
bahkan penuh dengan intrik rekayasa untuk kepentingan kelompok status
quo. Sejak awal pemilihan anggota dewan pers, yang diundang dan yang
dianggap memiliki hak konstituen hanya organisasi wartawan PWI, AJI,
IJTI serta para perusahaan raksasa yang identik dengan penguasa ORBA.
Perusahaan raksasa yang mendominasi Media sengaja dimasukan ke dewan
pers agar mereka bisa mengontrol dan bahkan bisa membunuh media dan
wartawan kecil.
Pada saat dewan pers melakukan rapat untuk menentukan kode etik
jurnalistik, membuat standar organisasi wartawan, penguatan dewan pers
dll, 27 organisasi wartawan yang hadir saat itu mempunyai legitimasi
diundang dan ikut serta menandatangani hasil keputusan.
Tapi anehnya dilain pihak dewan pers tidak mengakui organisasi
wartawan yang merupakan ibu kandung Dewan Pers Independen itu sendiri.
Bahkan organisasi pers Reformasi yang telah memberikan kontribusi bagi
perkembangan jurnalistik di Indonesia dianggap tidak pernah ada. Majelis
pers sebagai pemegang andil holder relation saat terjadinya reformasi
pers, yaitu tim perumus RUU Pers yang telah melahirkan UU Pers No 40 thn
1999 tentang pers yang mengamanah, dan turut membidani lahirnya dewan
pers independen, meratifikasi KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia)
menjadi KEJ (Kode Etik Jurnalistik), yang menjadi pegangan insan pers di
Republik sampai saat ini.
Organisasi Pers Reformis yang tergabung dalam Majelis Pers bukanlah
barang yang baru dibentuk. Tapi keberadaannya telah ikut andil serta
telah memberikan penguatan penguatan terhadap dewan pers, dan menjadi
acuan pers dalam bertindak dan sebagai pegangan etika dalam berkarya
bagi dunia jurnalistik Indonesia.
Namun dikarenakan adanya susupan kaum opontunisme didewan pers, telah
menyebabkan perjuangan jurnalis dalam menjalankan fungsinya yakni
kontrol sosial seperti hendak diberangus. Sungguh ini merupakan sebuah
kecelakaan sejarah yang di buat oleh dewan pers Independen.
Akibatnya terjadilah beberapa kejadian kriminalisasi terhadap
jurnalis. Ada yang dipenjara karena membuat tulisan, ada yang mengalami
tindak kekerasan bahkan ada yang mati dibunuh, hanya karena membuat
karya tulis. Sungguh ini suatu malapetaka.
Atas semua peristiwa yang telah terjadi, maka sebaiknya Dewan Pers di
bubarkan saja. Di bentuk organisasi bernama Majelis Pers dimana
anggotanya merupakan keterwakilan insan pers dan organisasinya yang
mengerti roh dan jiwa wartawan Indonesia.
Aksi hari ini tanggal 4 Juli 2018 kami akan melakukan langkah sebagai berikut :
1. Organisasi Pers Reformasi Menyatakan mencabut mandat kepada Dewan Pers.
2. Menutup aktivitas di gedung dewan pers, khususnya melarang kegiatan Anggota Dewan Pers untuk berkantor disitu.
3. Menutup kegiatan Yayasan Pengelola Gedung, menguasai serta mengambil alih pengelolaan gedung dewan pers.
4. Segera membentuk Presidium Pers yang baru, yang mengerti roh dan jiwa pers reformasi.