Oknum Anggota Komisi III DPR RI, Ir H Mulyadi Akan Didudukan di Kursi Pesakitan PN Bukittinggi Sebagai Saksi Korban

Bukittinggi. Merapinews. Sidang kasus tindak pidana
penipuan yang menempatkan Direktur CV. Aslam sebagai terdakwa di kursi
pesakitan Pengadilan Negri (PN) Bukittinggi memasuki babak baru, setelah
majelis hakim yang diketuai Supriyatna Rahmad SH dan dua hakim anggota
lainnya Dewi Yanti SH dan Munawar SH, membaca putusan Kamis (16/8).
![]() |
Kuasa hukum terdakwa Aldefri SH, menyerahkan bukti bukti pada majelis hakim yang diketuai Supriyatna Rahmad SH |
Dalam putusan sela itu, majelis hakim menerima dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU), juga tidak menolak eksepsi (pembelaan) yang disampaikan
oleh kuasa hukum terdakwa. Artinya dalam persidangan selanjutnya tidak
menutup kemungkinan akan mendudukkan seorang anggota DPR RI Ir Mulyadi
dikursi pesakitan sebagai saksi korban.
Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum, kasus itu sendiri bergulir ke
ranah hukum bermula pada bulan Juni 2015 setelah terdakwa Afrionis (46)
diperkenalkan oleh seorang bernama Putra Media (datuak) dengan Ir H
Mulyadi. Dalam perkenalan dan pertemuan mereka di hotel Rocky
Bukittinggi, ujar Jaksa.
Terdakwa menyampaikan keluhannya karena sudah berulang kali mengurus
izin usaha ke agenan Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 Kg ke PT Pertamina
untuk daerah pemasaran kota Bukittingi, namun tidak pernah berhasil.
Mendengar keluhan terdakwa yang meminta bantuannya, akhirnya saksi
mantan Wakil Ketua Komisi VII itu menyanggupi, ujar Jaksa dalam
dakwaannya yang dibacakan dipersidangan. Dan bantuan yang diberikan
kepada terdakwa tidak secara langsung, melainkan melalui karyawan
anggota dewan terhormat itu bernama Mursanto.
Mursanto yang berperan aktif mengurus perizinan keagenan LPH 3 Kg ke
PT Pertamina. Namun sebelum pengurusan perizinan itu dilakukan ada
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu bagi hasil 60 dan 40 persen untuk
terdakwa. Bak gayung bersambut hanya dalam rentang waktu tiga bulan,
atau tepatnya Juli 2015, semua persyaratan untuk mengurus perizinan itu
dapat dipenuhi oleh terdakwa, sekaligus mengirimkannya melalui faksimile
ke alamat Ir Mulyadi.
Menurut Jaksa, Mursanto lah yang menyerahkan berkas perizinan CV.
Aslam itu ke PT. Pertamina Jakarta. Berselang tiga bulan kemudian, atau
tepatnya September 2015 izin prinsip keagenan LPG 3 Kg untuk CV. Aslam
itu terbit. Dan perusahaan dibawah komando terdakwa sudah tercatat
sebagai rekanan dari perusahaan negara PT. Pertamina.
Tapi tunggu dulu, sebut Jaksa mengingatkan, sebelum CV. Aslam
beroperasi menyalurkan gas LPG 3 Kg untuk daerah pemasaran kota
Bukittinggi, hitung-hitungan yang telah disepakati sebelumnya tentu
tidak secara lisan. Sesuai keinginan anggota dewan terhormat itu harus
dibuat berbadan hukum untuk menghindari masalah yang akan timbul
dikemudian hari. Bagi terdakwa sendiri hal itu tidak jadi masalah
asalkan usaha mereka dapat berjalan lancar dan semua persyaratan yang
diajukan oleh saksi Ir Mulyadi disetujuinya.
Maka, kata Jaksa lagi, dibuatlah perjanjian kerjasama berbadan hukum
dihadapan notaris Cahaya Masita SH pada tanggal 28 Maret 2015. Tapi yang
terjadi kemudian setelah usaha kerjasama itu berjalan empat bulan,
sebut Jaksa, terdakwa tidak pernah melaporkan perkembangan hasil usaha
yang mereka rintis itu. Bahkan saksi Mursanto pun telah berulangkali
menghubungi terdakwa, namun tiada jawaban oleh tersangka, sehingga kasus
ini bergulir ke ranah hukum, sebut Jaksa Penuntut Umum.
“Semua tuduhan yang disangkakan pada terdakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum, merupakan kebohongan. Kasus yang menyeret klien saya ke ranah
hukum di PN Bukittinggi merupakan kasus perdata,” sebut Aldefri SH,
itupun berdasarkan perjanjian kerjasama yang dibuat dihadapan notaris
tanggal 9 November 2015 tahun lalu, sebut Aldefri SH.
Bentuk pembayaran itu sendiri dilakukan dalam rentang waktu dua tahun
dengan sistim pembayaran pembagian keuntungan dilakukan secara nett profit
setiap bulan, tapi pelapor, kata pengacara itu memaksakan kehendak,
sebab, baru saja kerjasama itu berjalan dua bulan, ia (Mulyadi -red)
sudah meminta setoran sesuai keinginannya sebanyak Rp. 34 juta, kata
Aldefri menerangkan. Namun demikian katanya lagi, kalau ada kelalaian
yang dilakukan klien saya, itu disebabkan karena klien saya masih
berpegang pada perjanjian yang telah mereka sepakati dihadapan notaris.
Diseretnya klien saya ke ranah hukum PN Bukittinggi, tidak lain
merupakan sebuah bentuk penguasaan hukum yang dimiliki oleh penguasa
hukum itu sendiri terhadap masyarakat kecil seperti klien saya.
Menurutnya, kalau klien saya berniat akan melakukan perbuatan yang tidak
terpuji seperti yang disangkakan, bisa jadi klien saya tidak akan
melakukan perikatan perjanjian kerjasama yang dibuat dihadapan notaris.
Tapi itu tidak ia lakukan, justru sebaliknya malah klien saya
langsung berinvestasi dengan mananam modalnya. Selain menyebutkan alamat
dan identitas lainnya, klien saya juga berinvestasi seperti dalam
pengadaan angkutan, kantor dan karyawan sebagai sebuah persyaratan yang
harus dipenuhi. Itukan jelas dan terang benderang kalau klien
betul-betul akan bangkit dalam berusaha disektor keagenan LPG 3 Kg. Kok
malah ia kini disangkakan sebagai penjahat yang melakukan pembohongan
dalam bentuk kerjasama, ujar pengacara itu.
Sebagai wakil rakyat, ujar Aldefri SH, dalam pembelaan dihadapan
majelis hakim, yang dimaksud Ir H. Mulyadi itu adalah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan nomor keanggotaan
403, sebagai wakil ketua Komisi VII, yang bermitra dengan bidang energi,
lingkungan hidup dan Kementerian ESDM yang membawahi BUMN tempat
bernaungnya PT Pertamina. Barulah pada tahun 2017 ia pindah ke Komisi
III. Sementara Mursanto, sendiri merupakan karyawan yang sebagai sopir.
Dan orang inilah yang digadang-gadangkan Ir H Mulyadi, untuk mengurus
proses perizinan ke agenan Gas LPG 3 Kg ke PT. Pertamina. Dan sang sopir
ini pula yang mampu mempengaruhi perusahaan negara untuk memblokir
usaha keagenan klien saya CV Aslam.
Sejatinya, sebagai pengusaha kecil menengah yang tumbuh dari daerah
kelahiran anggota dewan terhormat itu. Mulyadi, seharusnya membantu dan
membina agar perusahaan itu dapat berkembang, tapi yang terjadi justru
sebaliknya, malah diminta pula uang kompensasi senilai RP. 500 juta
untuk dapat menyalurkan Gas LPG 3 Kg. Permintaan uang kompesasi oleh
saksi Mulyadi itu seperti ada pembenaran oleh Jaksa Penuntut Umum, ini
terlihat dari tangkisan Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi kuasa hukum
terdakwa yang tidak masuk dalam kategori atas jawaban atau tangkisan
Jaksa atas eksepsi kuasa hukum terdakwa.
Pada bagian lain eksepsinya yang dibacakan tanggal 8/8 pekan lalu
itu. Aldefri, melihat tindakan tidak terpuji yang dilakukan wakil rakyat
itu dengan sengaja ia melakukan pungutan diluar kewajaran yang mereka
bungkus dalam bentuk perikatan perjanjian kerjasama keagenan Gas LPG 3
Kg. Dampaknya tutur pemgacara muda itu berplikadi terhadap masyarakat
penerima manfaat program pemerintah yang bersubsidi tersebut.
Padahal, ujarnya HET LPG 4 Kg yang ditetapkan pemerintah sampai ke
tangan masyarakat penerima manfaat Rp. 17.000,-pertabung. Realitanya
masyarakat harus merogoh uang dari Rp. 25.000,- sampai Rp. 30.000,-
pertabung. “Apakah ini tidak membebani perekonomian masyarakat?”, timpal
Aldefri.
Dalam hal ini, ujarnya melanjutkan, bahwa apa yang telah mereka
lakukan itu berimplikasi ke ranah hukum pidana dan hal tersebut akan
saya laporkan dalam perkara sendiri. Selain Ir H. Mulyadi yang akan
didudukan di kursi pesakitan nantinya, juga ada pelapor Mursanto dan
saksi Lasmawan. “Sidang akan dilanjutkan kembali pada Selasa 31/8 pekan
depan dengan agenda menghadirkan saksi-saksi”, ujar Hakim Ketua
Supriyatna Rahmad SH, sambil mengetok palu hakim. (asroelbb)