Ulah Ketua Partai Demokrat Bukittinggi, Pengaruhi Perolehan Suara Mulyadi.
Oleh: Asroel BB.
Senin 8 Desember 2020, sontak saya kaget mendengar rekaman wartawan daring bakabako. Com Fadly Reza, ketika wartawan muda itu mewawancari calon Gubernur Sumbar nomor urut 1, Ir.Mulyadi, di Pasa Ateh Bukittinggi, terkait Surat Keputusan (SK) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) nomor : B/81 a X/2020/Dit Tipidum yang menetapkan Ir. Mulyadi sebagai tersangka pelanggaran Pemilu Kepala Daerah. Jumat 4 Desember 2020.
Dalam rekaman, jelas suara Ir. Mulyadi menyatakan. Penetapanya sebagai tersangka lebih bernuansa politisasi.
Seharusnya, kata Mulyadi, yang berwenang menangani kasusnya Bawaslu Sumatera Barat, atau Polda Sumatera Barat.
Mendengar ucapan tokoh yang digadang-gadangkan itu. Saya merelay kembali peristiwa yang saya alami ketika saya dilaporkan ke Mabes Polri 7 September 2018.
Dalam laporanya. Saya dijerat dengan fasal-fasal ujaran kebencian, karena saya menurunkan berita hasil liputan Sidang Terbuka di Pengadilan Negri Bukittinggi.
Dari tujuh tulisan (berita) satu diantaranya dibawah judul. "Ir. Mulyadi oknum anggota komisi III DPRRI diseret keranah hukum sebagai saksi korban".
Judul berita itu muncul, karena majelis hakim berulangkali menegaskan pada Jaksa Penuntut Umum agar menghadirkan Ir. Mulyadi di persidangan sebagai saksi korban dalam transaksi tataniaga ke agenan gas elpiji 3 kg, yang menempatkan Direktur CV. Aslam Afrionis (On) dalam perkara no. 36/Pid.B/2018/PN Bkt, sebagai tersangka.
Bila ditelisik kasus hukum yang dihadapi Afrionis di PN Bukittinggi itu, hanya kasus ingkar janji (wanprestasi) namun nuansa rekayasa hukum. Jadilah direktur CV. Aslam Afrionis terpidana.
Namun Mulyadi tidak pernah menampakan muka di persidangan. Bisa jadi karena saat itu ia sebagai simbol negara yang duduk di komisi III DPRRI, yang harus dihormati.
Judul berita itulah yang diplesetkan, sehingga saya layak dikriminalisasi. Baik penyidik maupun Dewan Pers yang melakukan mediasi menilai saya membuat berita opini.
Sebagai Jurnalis yang pernah mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) di Padang Mangateh Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat, tahun 1986. Pemateri alm Effendi Kusnar mengajarkan kami kritis dengan judul berita.
Apabila judul berita itu dilihat sepotong-sepotong seperti oknum anggota DPRRI IR. Mulyadi diseret keranah hukum titik, diakui judul berita itu opini. Tapi imbuhan sebagai saksi korban yang menyatakan ia (Mulyadi) merupakan korban sebuah kejahatan, maka tudingan opini dengan sendirinya sirna.
Meski sebagai jurnalis, saya tetap dengan argumentasi, namun desakan ketika mediasi berlangsung di Dewan Pers, saya dinyatakan sebagai pihak pesakitan.
Sebagai pesakitan akhirnya saya disarankan meminta maaf pada Mulyadi, atas kesalahan yang tidak pernah saya perbuat, sekaligus membuat pernyataan perminta maaf di diawal sanggahan berita Ir. Mulyadi, dimedia merapinews.com yang saya pimpin.
Kembali pada awal tulisan. Kalau Ir Mulyadi menyatakan dirinya di politisasi, seperti yang diakuinya pada wartawan, rasanya kok aneh ya... ?.
Padahal sebagai anggota dewan yang membidangi hukum di DPRRI, ia justru lebih tahu tentang hukum, berikut dengan hamba hukum yang menangani kasus hukum.
Bukankah peristiwa yang menyeret saya keranah hukum, terjadi diwilayah hukum Polda Sumatera Barat?.
Pertanyaan. Apakah Polda Sumbar maupun Polres Bukittinggi bukan Kepolisian Republik Indonesia (Nasional) ?. Kenapa harus di Mabes Polri saya dilaporkan. Kini ia menyebut kalau dirinya di politisisasi?.
Selama ini saya tidak bergeming dan menghormati prifasi Ir. Mulyadi, sebagai calon Gubenur Sumbar. en saya diam.
Bukan berarti tidak ada pihak-pihak yang membutuhkan data terkait dengan tataniaga gas elpiji 3 kg, atau hasil sidang Badan Kehormatan Dewan DPRRI. Namun semua itu saya jadikan sebagai sebuah dokumen.
Meski kasus tindak pidana pelanggaran Pilkada yang dilaporkan tim hukum Mahyeldi - Audi, sudah dicabut. Dan itu dibenarkan Direktur tindak pidana umum Bareskrim Berigjen Polri Andi Rian. Kamis 10/12.
Tapi dek ulah ketua Partai Demokrat Bukittinggi Rusdi Nurman, melakukan kejahatan verbal pada wartawan satu hari jelang hari jelang pemilihan Kepala Daerah. Senin 8/12. Jiwa korsa Jurnalis terusik. Dan berdampak pada perolehan suara Mulyadi di Pilkada Gubernur Sumbar.(*).