Kami Ingin Hidup, Warga Air Bangis Menolak Menyerahkan Lahan Hutan Negara.
Ironi masyarakat Jorong Pigogoh Air Bangis. Mereka dipaksa hengkang dari lahan hutan yang mereka tempati sebagai sumber kehidupan.
Pasaman Barat,merapinews.com - Warga Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas yang menempati lahan hutan milik negara di Jorong Pigogah menolak menyerahkan lahan itu kepada negara.
Lahan sekitar seluas 19.000 hektare itu telah ditempati atau dikelola masyarakat puluhan tahun. Mereka menyebut lahan yang ditempati adalah lahan milik adat.
Madi salah seorang warga mengatakan ia bersama ribuan warga sudah menempati atau mengelola lahan hutan yang disebut milik negara tersebut sudah puluhan tahun.
“Kami tak bersedia menyerahkan lahan yang sudah kami tempati. Kenapa baru sekarang negara datang menyebut ini lahan hutan yang kami kelola milik negara,” kata Mahdi kepada usai mengikuti pertemuan sosialisasi dengan pemerintah di Jorong Pigogah, Selasa 8/3.
Ia menjelaskan warga yang menggarap lahan hutan lindung tidak mengetahui selama ini, bahwa lahan yang digarap sudah puluhan tahun merupakan lahan hutan lindung milik negara.
“Kami masyarakat adat, yang kami tahu itu adalah lahan milik adat. Sekarang kami dituntut untuk menyerahkan lahan secara menyeluruh tanpa terkecuali. Kemudian kami disuruh masuk ke koperasi yang telah ditunjuk gubernur,” jelasnya.
Menurutnya penyelesaian pengelolaan lahan hutan milik negara secara tidak sah untuk perkebunan sawit oleh masyarakat di Air Bangis Kecamatan Sungai Beremes Kabupaten Pasaman Barat melalui koperasi yang telah dibentuk terkesan aneh.
“Kami tak tahu kapan koperasi ini dibentuk, yang namanya koperasi dibentuk oleh sekelompok petani. Ini tiba-tiba saja sudah ada pengurus nya. Ini kan aneh, warga yang mengelola lahan sekarang diarahkan ke KSU 374,” terangnya.
Menurut Madi, KSU 374 adalah koperasi yang telah ditunjuk oleh Gubernur untuk mengelola lahan masyarakat yang tanaman sudah berusia rata-rata 20 tahunan.
“Luas lahan yang dikelola masyarakat setahu saya saat disampaikan oleh Dinas Kehutanan tadi ada sekitar 19.000 hektare. Total lahan yang disebutkan hampir semua dikuasai masyarakat dan termasuk pinggir jalan hitam,” terangnya.
Madi menjelaskan lahan sekitar seluas 19.000 hektare itu sekarang ditempati warga sebanyak 3 kampung yakni Kampung Lubuk Buaya, Kampung Lubuk Bontar dan Kampung Gunung Bungkuak.
“Kalau jumlah jiwa kita tidak bisa menghitung, karena banyak juga warga pendatang yang membuka lahan adat kami. Kami akui secara legalitas kepemilikan lahan kami tidak ada, namun karena kami sebagai warga yang kami ketahui ini tanah ulayat Pati Bubur,” jelasnya.
“Kami tidak ada yang membeli lahan disini, tetapi kami diberi izin sebagai cucu kemenakan untuk menggarap atau hak pakai mengelola tanah ulayat dan tak boleh diperjualbelikan. Seharusnya negara juga memberikan kesejahteraan kepada warga nya dengan memberikan izin garapan lahan hutan,” sambungnya.
Ia juga mengungkapkan hasil kesimpulan pertemuan warga dengan pemerintah yang melibatkan Pemda Pasbar, Pemprov Sumbar, Polda dan Kejaksaan bahwa menunggu hasil pendataan penyerahan lahan.
“Ada seribuan warga yang menghadiri pertemuan, permintaan kami tidak banyak, karena kami sudah lama menggarap lahan, kami ingin aman dalam mengambil hasil tanaman yang kami tanam sendiri puluhan tahun lalu tanpa intimidasi bahwa yang kami lakukan adalah tindak pidana,” ungkapnya.
“Dilokasi tanah yang kami garap ada baleho dengan bertuliskan jangan panen dan sayangi anak istri. Ini kan aneh, tanaman yang kami tanam sendiri dilarang dipanen. Baleho ini ada lebih kurang dua minggu,” sambungnya.
Selain itu kata dia untuk batas wilayah hutan lindung yang diketahui nya tidak ada, namun semua lahan yang kami garap atau pemukiman yang ada berada di zona kuning berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan.
“Lahan dan pemukiman disini berada di hutan lindung dan hutan produksi. Sejauh ini sudah ada satu orang warga yang menjadi korban kriminalisasi, saat ini dia ditahan dilapas. Warga kita ini ditahan karena tidak mau menyerahkan lahan yang ia miliki,” katanya.
“Lahan ia miliki tak memiliki izin dan memiliki kapasitas luas yang melebihi dari yang telah ditetapkan pemerintah, memang dari awal sudah sampaikan kami tak punya izin, kami hanya punya izin garap sebagai masyarakat adat,” sambungnya lagi.
Sementara itu anggota DPRD dari Fraksi Gerindra Pasaman Barat, Heri Miheldi mengatakan sebagai wakil rakyat yang diamanahkan akan membawa masalah ini sampai ke DPR RI.
“Kasihan kita dengan masyarakat, mereka yang menanam malah mereka ditangkap. Dimana letak kesejahteraan untuk masyarakat jika negara sendiri memperlakukan warga nya seperti itu,” katanya.
Menurutnya warga yang berada di lahan hutan lindung atau hutan produksi milik negara itu sudah puluhan tahun menggarap dan mendiami lahan tersebut.
“Kenapa baru sekarang negara datang dengan dalih itu tanah milik negara. Kenapa tidak dari dulu disampaikan, apa karena hutan itu sudah berproduksi atau karena sudah ada akses jalan yang bagus,” tegasnya.
Ia menduga ada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dan berkepentingan. Ia juga mempertanyakan koperasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR) KSU 374.
“Apa itu koperasi HTR, anggota nya saja belum jelas, ini cacat hukum secara perundang-undangan koperasi. Pengurus koperasi ini kabar nya sudah terbentuk, dibentuk dimana dan siapa anggota nya,” tanyanya.(rek/asroel bb).