Soal Tambang, Perlukah Dibentuk Satgas Penegakan Perda di Kabupaten Limapuluh Kota?.
Wartawan Merapinews.com.
Tidak menafikan kalau ada yang mengatakan Kabupaten Limapuluh Kota, bagai gajah tidur. Itu disebabkan karena potensi Sumber Daya Alam (SDA) mereka miliki berlimpah. Namun belum diberdayakan secara maksimal.
Mulai dari pertanian - perikanan dan perkebunan, termasuk sumber daya hasil hutan, sumber daya mineral bukan logam dan bahan tambang terbarukan lainya.
Namun ia (Kabupaten) masih melihat dirinya bagaikan se ekor tikus nan kecil, sehingga karunia dan potensi alam yang mereka miliki tidak ter berdayakan.
Bahkan potensi yang dimilikinya seperti energi terbarukan Geothermal (Panas Bumi), sesuai rilis Kementrian ESDM, konon terdapat di tiga titik di Kabupaten Limapuluh Kota.
Ironisnya, SDA tambang mineral bukan logam yang digali dari perut bumi Kabupaten Limapuluh Kota, dan di ekploitasi 53 perusahaan tambang hanya menghasilkan PAD Rp. 5,3 miliar sepanjang tahun 2022.
Inilah sebuah ironi kata ahli Geologi Sumatera Barat, Ade Edwar.
Edwar, memprediksi penerimaan retribusi PAD Kabupaten Limapuluh Kota dari sektor galian C mineral bukan logam (batu gunung dan batu Kapur) itu harus diatas Rp. 100 miliar/tahun.
Bukankah kata bijak berucap "ke laut berbunga pasir, ke hutan berbunga kayu, dan ke sungai berbunga pasir?". Nah... bunga-bunga itu kemana larinya?.
Sementara potensi perut bumi luhak Limopuluah setiap hari, setiap saat terus digerus, dieksploitasi dan digerogoti. Namun rakyatnya belum menikmatinya.
Dari sektor retribusi (bukan pajak) bahan galian C itu, Pemkab Limapuluh Kota, seharusnya sudah bisa bernafas lega.
Sebab dari retribusi itu akan menambah pundi-pundi PAD Rp. 5000,- setiap M3 matrial batu dan pasir yang di ekploitasi oleh perusahaan tambang.
Sementara, anggaran belanja fisik pembangunan Pemkab Limapuluh Kota, setiap tahun tidak kurang Rp 100 miliar yang bersumber dari APBD.
Itu belum termasuk belanja fisik yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
60 % diantara belanja fisik atau Rp. 60 miliar dibelanjakan rekanan kontraktor untuk kebutuhan material proyek yang bersumber dari SDA Limapuluh Kota.
Dari belanja rekanan kontraktor itu saja. Pemda sudah bisa meraup retribusi puluhan miliar/tahun. Itu belum termasuk pendapatan dari perizinan Hotel, IMB, BBNKB dan lain sebagainya.
Jawaban, kenapa hal itu tidak terakomodir?.
Bisa jadi Pemkab Limapuluh Kota, tidak serius menggali sumber-sumber PAD, atau bisa jadi juga petugas yang membidangi PAD tidak cakap?. Bersamaan dengan itu tidak tertutup kemungkinan terjadi kebocoran.
Kebocoran disebabkan petugas atau pejabat yang membidangi pendapatan daerah lebih cenderung menerima laporan dari pengusaha tambang dan, tidak melakukan cek fisik setiap tonase yang dihasilkan perusahaan tambang.
Hematnya perlu dibentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus) penegakan Perda Kabupaten Limapuluh Kota, membidangi retribusi yang bersumber dari pertambangan mineral bukan logam dengan melibatkan semua unsur.
Libatkan unsur Forkopimda TNI/Polri. Atau Bupati menerbitkan regulasi (Perbub) dengan menempatkan kewenangan pada Sapol PP melakukan penertiban terhadap pelaku pertambangan mineral bukan logam.
Sebab, selama ini petugas pengaman Perda Kabupaten, lebih bergerak setelah adanya laporan atau perintah tugas.
Tidak kalah pentingnya kontribusi ratusan tambang rakyat yang mengais rezeki di bantaran sungai, atau dilokasi lainya juga harus diberdayakan semaksimal mungkin.
Meski tambang itu kecil, namum ratusan kendaraan sejenis Pic Up setiap hari hilir mudik membawa hasil galian.
Selama ini usaha-usaha tambang rakyat itu bagaikan los kontrol.
Hematnya, untuk meminimalisir retribusi dari tambang rakyat, agaknya ada lembaga atau asosiasi yang mengayominya. Assosiasi tambang tambang rakyat misalnya.
Bila hal itu terbentuk, kontrol pemerintah hanya melalui assosiasi itu sendiri.
Acuannya, bukankah Gubenur Sumatera Barat sudah menerbitkan Peraturan Gubernur No. 332-107-2019 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penegakan Produk Daerah Mengenai Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2019.
Produk hukum Gubernur Sumatera Barat, yang diundangkan 31Januari 2019 itu, menempatkan Kepala Satuan Pol PP sebagai ketua tim terpadu dan Kapolda Sumatera Barat, Kejaksaan Tinggi dan Danrem 032/Wirabraja sebagai pembina. Termasuk Ketua Pengadilan dan Dandenpom 1/4 Bukit Barisan.
Kini tinggal kepala daerah atau Bupati menindak lanjuti Surat Keputusan Gubernur tersebut dengan menerbitkan Perwako untuk kota, dan Peraturan Bupati (Perbup) untuk Kabupaten bila PAD tidak stagnasi. (**)