Kasus pelecehan sexual [Sodomi] terhadap santri di Yayasan Pondok Pesantren [Ponpes] Madrasah Tarbiyah Islamiyah [MTI] Canduang, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam, sangat mencoreng dunia pendidikan ke agamaan di Sumatera Barat. Meski kasus itu telah ditangani penyidik di Polresta Bukittinggi.
Namun dapat di duga kasus itu sudah berlangsung cukup lama, hal itu terungkap dari pengakuan pelaku pada penyidik di Polresta Bukittinggi bahwa mereka juga pernah mengalami peristiwa pahit itu.
Nyaris setiap malam, secara bergiliran para santri dipanggil oleh sang guru dan pengawas asrama masuk ke kamar, dengan alasan sang guru minta di pijit.
Fasal 5 Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers mengingatkan para Jurnalis agar tidak menyebut dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila.
Dua produk hukum tentang Pers itu lebih diperkuat lagi dengan seruan Dewan Pers No.189/D-dp/VII/2013.
Berangkat dari Produk hukum Pers itulah kami tidak menyebut identitas korban dan keluarga dalam tulisan ini.
Pengungkapan kasus a susila yang dilakukan dua oknum guru di Ponpes MTI Canduang Ra [29] dan Aa [23] bukanlah dari korban, melainkan melalui sebuah pengrebekan sejumlah anak muda yang datang dari Padang dan Padang Panjang, setelah mereka mendapat informasi adanya perlakuan yang tidak senonoh terhadap santri-santri di lingkungan Ponpes MTI Canduang.
Benar saja, saat penggrebekan Minggu 21 Juli 2024 jam 23.30 Wib, di asrama salah seorang pelaku tengah menggarap korban. Malam itu juga atau tepatnya Senin 22 Juli 2024 jam 02.30 Wib peristiwa penggrebekan itu dilaporkan ke Polresta Bukittinggi.
Pertanyaannya kenapa peristiwa cabul terhadap santri selama ini tidak terungkap?. Itu di sebabkan masing-masing korban saling merahasiakan. si A, misalnya takut aibnya diketahui. Demikian juga si B dan seterusnya, sehingga mereka saling merahasiakan.
Meski diantara mereka sudah ada bisik-bisik, namun mereka tidak berani mengungkapkan, takut diberhentikan dari sekolah. Klimaksnya pada malam itu seorang hero tampil, dia melawan ketika sang guru memaksa meminta hubungan sebadan nan tidak wajar itu.
Barangkali karena penolakan dari sang Hero, membuat suasana di Ponpes tidak nyaman. Saat itulah sejumlah anak-anak muda melakukan penggerebekan.
Sebetulnya gejala perbuatan tidak senonoh sang oknum guru terhadap peserta didik di Ponpes MTI Canduang itu sudah terlihat dari awal, saat peserta didik di bait.
Sang guru mengatakan “Hubungan guru dengan murid ibarat hubungan pasangan suami - istri”. Pesan inilah yang dimaksud oleh sang oknum guru melampiaskan kebutuhan biologis nan ndak wajar.[asroel bb]