Oleh : H. Fachrul Rasyid HF
Rapat Panitia Pembangunan Masjid Raya yang dipimpin Gubernur H. Gamawan Fauzi, dan Wakil Gubernur H. Marlis Rahman, Kamis (20/11/08) lalu membicarakan bayak hal. Antara lain soal sumber dana pembangunan yang diperkiraan lebih Rp 700 milyar. Peluangnya, bisa dari masyarakat nagari, Pemda Kupaten/Kota, bantuan negara-negara Islam seperti Malaysia, Brunai Darusslama dan timur tengah yang sudah dijajaki.
Saya mengusulkan agar Masjid Raya itu diberi nama Masjid Raya Mohammad Natsir. Alasannya, pertama, Moh.Natsir asal Maninjau, lahir 17 Juli 1908, di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok dan wafat 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun, adalah tokoh nasional di bidang pendidikan, politik dan negarawan.
Dialah yang berjuang dibentukanya Kementerian Agama kini Departemen Agama (1946), saat jadi anggota Badan Pekerja KNIP, parlemen pertama RI (1945-1946). Natsir juga pernah menjabat Menteri Penerangan RI (1946-1949) Perdana Menteri RI (1950-1951). Pendiri dan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958). Atas jasa-jasanya itu Presiden SBY 7 November 2008 lalu mengukuhkannya sebagai pahlawan nasional dan dianugrahi Bintang Mahaputera Adiprana di Istana Negara.
Kedua, Moh. Natsir merupakan tokoh dan pemimpin dunia Islam terkemuka. Ia pernah menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami), yang berpusat di Karachi, Pakistan (1967), anggota World Muslim League berpusat di Mekah (1969), anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid (Majelis Tinggi Masjid se-Dunia), di Mekah (1972).
Natsir bahkan pernah menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari Raja Faisal (1980). Ia juga anggota inti dewan pendiri The International Islamic Charitable Foundation, di Kuwait (1985) dan anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, di London, Inggris dan angota Majelis Umana’ International Islamic Univesity, berpusat Islamabad, Pakistan (1986). Ia juga pernah diusulkan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Konperensi Islam (OKI), tapi tak disetujui Pemerintah RI.
Natsir juga penulis sejumlah buku Islam. Antara lain, Fiqh Da’wah, dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan). Buku tentang Palestina berjudul Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina). Atas karya dan pemikirannya Moh. Natsir dianugerahi beberapa gelar Doktor Honoris Causa. Bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon (1967), bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).
Kepribadian Natsir yang hidup penuh kesederhanaan juga patut jadi tauladan. Dia adalah satu dari sedikit tokoh Islam Indonesia yang berjuang menghidupi Islam, bukan yang memanfaatkan Islam untuk kehidupan pribadinya seperti kebanyakan orang yang mengaku tokoh Islam sekarang.
Ketokohan Natsir di dunia Islam teruji. Di awal Orde Baru, Ali Moertopo dan Benny Moerdani diutus pemerintah menghadap Tengku Abdurrrahman, Perdana Menteri Malaysia, membicarakan pemulihan hubungan Indonesia –Malaysia. Keduanya baru diterima Abdurraham setelah mengantungi surat pribadi Moh. Natsir dari dalam penjara. Natsir ditahan Soekarno 1960 -1966.
Begitu juga saat Menlu RI, kala itu, Dr Soebandrio menunaikan haji dan bertemu Raja Faisal tahun 1965. Soebandrio bercerita perkembangan Islam di Indonesia. Tapi Raja Faisal marah kenapa pemerintah Indonesia menahan Natsir. “Saudara tahu, Natsir itu bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, Natsir pemimpin umat Islam dunia!", kata Raja Faisal.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat dipastikan orang Minang dan bangsa Indonesia khususnya dan pemimpin organisasi dan negara Islam umumnya punya ikatan historis, politis dan emosional dengan Moh. Natsir. Dengan digunakannya nama Moh. Natsir pada masjid raya itu, selain akan dianggap sebagai penghargaan kepada Moh. Natsir sekaligus akan mempetautkan hubungan historis dan emosianal antara mereka dan Moh. Natsir ke masjid raya tersebut.
Dengan bernama Moh. Natsir, orang Minang, bangsa dan negara Indonesia dan negara Islam dunia akan merasa ikut memiliki masjid tersebut. Karena itu, dapat dipastikan masyarakat Minang, bangsa Indonesia, pemimpin negara dan organisasi Islam dunia akan merasa ikut bertanggungjawab atas kelangsungan pembangunan masjid tersebut.
Paling tidak, para pemimpin organisasi dan negara Islam, seperti Malaysia, Pakistan, Arab Saudi, Mesir dan sebagainya, akan ikut membantu masjid raya sebagai penghargaan dan balas jasa mereka terhadap Moh. Natsir. Gubernur Gamawan Fauzi berjanji akan membicarakan usul itu bersama DPRD sehingga bisa diterbitkan Perda atau Pergub Tentang nama Masjid Raya Moh. Natsir itu.
Tapi hasilnya, tentu, tergantung anggota DPRD melihat Moh. Natsir apakah masih berharga dan dihargai. Jika Natsir cuma dianggap orang biasa dan orang lain tentulah nama Natsir tak akan diabadikan untuk masjid itu.(*)